Surat Imajiner Pemilik Hati

Tulisan ini aku awali dengan kata “maaf”. Maaf , karena dulu aku pernah memasuki kehidupanmu tanpa izin. Pemilik hati dari salah satu sosok hebat sepertimu yang seharusnya tidak boleh aku singgahi. Setidaknya bagiku, dirimu adalah cerminan dari seseorang yang telah melewati fase diantara masa romansa remajanya menuju  kedewasaan. Dan apa kiranya maksudku menulis memoar seperti ini? Bukan sikap penyesalan bagiku, atau bentuk permohonan agar kita merasakan kembali masa-masa kita bersama. Ini hanyalah caraku untuk menenangkan hati, yang selama ini belum bisa sepenuhnya lepas dari pengharapan selain-Nya. Tidak perlu kamu membalasnya, karena aku tidak menuntut jawaban darimu. Aku hanya perlu memastikan tulisan ini sampai kepadamu, terlebih jika sempat membacanya. Karena satu hal itu yang membuatku kembali tenang..


Aku tahu bahwa dari setiap orang yang kita jumpai, Tuhan akan mengajarkan kepada kita satu pelajaran hidup. Tidak peduli siapapun itu. Entah dari pemulung di pinggir jalan yang akan menyadarkan betapa beruntungnya selama ini kita tumbuh dibesarkan oleh orangtua berkecukupan. Ataupun dari anak-anak jalanan yang membuat kita semakin memahami betapa beratnya perjuangan hidup tanpa orangtua. Dan, begitu juga pertemuanku dengan dirimu. Aku bertemu denganmu pasti ada maksud yang ingin Tuhan sampaikan. Satu pelajaran hidup itu harus kudapat dari seseorang, dan kebetulan perantaranya adalah kamu. Mau tidak mau, dengan kehendak-Nya kita akhirnya dipertemukan satu sama lain kemudian berlanjut seperti yang kita ketahui bersama. Dan kamu pasti bisa menebak, pelajaran apa yang telah aku dapat darimu? Iya, benar apa yang ada di pikiranmu. Tentang hati.

      Terkadang apa yang kita anggap itu baik, ternyata Tuhan malah berkehendak lain karena memang hanya Dia yang lebih mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Seperti yang terkandung dalam kitab suci agama kita,;
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216). 
      Tersesat. Itulah satu kata yang pantas untuk aku ucapkan pada hatiku sendiri. Bukan pada dirimu, atau keadaan kita waktu itu, tapi karena aku juga terlanjur membiarkan perasaan itu muncul. Ya, singkat kata biarlah yang lalu berlalu dihempaskan sang waktu. Tentang pengharapan pada seseorang yang akhirnya berujung pada kekecewaan, karena bisa jadi telah membuat Tuhan cemburu. Tentang hati yang sulit pulih untuk kembali memahami perasaan, karena qalbu sekalinya merekam jejak maka sulit dihilangkan. Tapi, tidak semuanya membekas seburuk itu. Dari pertemuan itu, kita bisa memahami betapa pentingnya menjaga hati, bagaimana memperlakukan sang jodoh kita nanti, dan mengelola rasa yang belum saatnya diungkapkan. Ingat, karena hati kita cuma satu. Cukupkan, jika tersesat hanya sekali saja agar tidak membebani hati untuk menghapus memori tentang seseorang yang biasa dianggap mantan.

     Kita sama-sama belajar dari situasi yang dulu pernah kita lalui. Aku dan kamu, dipertemukan oleh Tuhan untuk bisa mengambil hikmah dari apa yang kita alami bersama. Yakinlah, selalu ada maksud baik dari-Nya. Bersemangatlah menjalani hidup barumu disana. Karena masih ada yang jauh lebih penting dari sekedar persoalan hati. Ada hak keluarga dan orangtua untuk kita perjuangkan, dan masih ada persoalan akhirat setelah dunia.

***
Oleh Andi Sujadmiko, pada penghujung Desember 2014, di balkon lantai atas sebuah asrama mahasiswa Kampus Kerakyatan.

Comments

Popular posts from this blog

Bicara Jodoh: Merayu Sang Pemilik Hati

Sebungkus Nasi Rames Yang Mengantarku ke UGM

Kuliah Umum WikiNusantara 2019 bersama Ivan Lanin