Hijrah itu Mengundang Pertolongan Allah

Assalamu’alaikum..

Ibarat nggak ketemu teman satu tahun lamanya, saya merasa bersalah kalau nggak menyapa duluan. Ya, blog ini hampir satu tahun nggak ada kabar sama sekali. Kalau sekedar nyapa teman saja, rasanya kurang afdhol tanpa berbincang ngalor-ngidul. Ada banyak cerita yang pingin saya share kepada teman-teman, dan semoga tetap bermanfaat. Kali ini saya mau sharing tentang bagian kecil kehidupan saya, tentang pertolongan-Nya yang saya rasakan perbedaannya. Perbedaan ketika saya masih jahiliyah dibandingkan saat saya mulai mengenal-Nya.

***
Allah itu nggak bisa kita cari dengan meninggikan diri, tapi merendahkan dalam sujud, merendahkan melalui doa kita. Berdoa itu sebenarnya ada dua tujuan: mengakui kelemahan kita & mengagungkan keagungan Allah. Berdoa aslinya bukan memberi tahu Allah hajat kita. Lha, Allah itu Maha Tahu je. Maka ketika kita berdoa, adalah saat yang tepat untuk bermesraan dengan-Nya. Semakin kita mengingat nikmat-Nya, semakin kita merasa nggak ada apa-apanya tanpa-Nya. Semakin kita mengingat dosa yang kita tumpuk, semakin kita merasa.. kita bukan lagi orang yang bersih. Semakin kita mendekat pada Allah melalui doa, semakin jauh lebih dekat Allah memeluk kita. 

Siapa yang datang kepada Allah sejengkal, Allah datang kepadanya sehasta. Siapa yang datang kepada Allah sehasta, Allah datang kepadanya sedepa. Siapa datang kepada Allah dalam keadaan berjalan, Allah datang kepadanya dalam keadaan berlari.”
***

Nah ceritanya.. saya waktu itu masih semester 3 walhasil 1,5 tahun lalu. Mau extend beasiswa di salah satu perhimpunan rumah zakat kampus. Berangkat 08:00 pagi, sampai tempat wawancara 30 menit kemudian. Perlu diketahui bahwa sebelum tahap wawancara, ada tahap seleksi berkas duluan. Dapatlah saya antrian wawancara ke-sekian, saya lupa tepatnya angka berapa tapi yang jelas 2 digit. 30 menit, belum dipanggil.. satu jam, belum dipanggil.. dua jam, belum juga dipanggil. Entah kenapa waktu itu punya kemauan buat pergi ke masjid sebelah, Masjid Kampus UGM. Shalat Dhuha. Niatnya, jujur.. biar nggak ngantuk nunggu antrian (yang ini jangan ditiru).

Selesai dhuha balik lagi ke antrian. Alhamdulillah, 15 menit sebelum adzan Dzuhur saya dipanggil. “Mas Andi Sujadmiko?”, panitia recruitment memanggil nama saya. Saya langsung menghadap beliau, ketua perhimpunan rumah zakat ini sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. Ini saya agak kaget, karena biasanya yang mewawancarai calon penerima beasiswa adalah karyawan yang bekerja disana. Ditambah lagi, saya mendapat sedikit cerita dari kakak kelas FEB UGM yang kebetulan DPA (Dosen Pembimbing Akademik) adalah beliau, reputasi tentang akademik selama mengajar, bahkan tentang perjalanannya dalam pengembangan ekonomi Islam, saya acungi jempol. Di salah satu sesi wawancara, beliau nanya: “Jadi, beasiswa ini akan dipergunakan untuk apa, dik?”. Lalu saya jelaskan prioritas kebutuhan saya, dan yang terpenting adalah soal akademik. Cerita tentang keadaan saya, yang kebetulan waktu itu sudah memasuki Rumah Tahfidz. Tiba-tiba.. beliau nyeletuk, “Begini saja, dik. Nanti tanggunganmu itu akan saya penuhi.” “Ha?”. Rada bengong sebentar. Lalu beliau jelaskan besaran bantuan akademik untuk saya, dengan nominal sekian (satu digit angka, diikuti enam angka 0). Padahal saya tahu itu diluar dana beasiswa, yang nilainya beasiswanya sekitar setengah dari bantuan beliau.

Saya kemudian flashback ke kejadian sebelum wawancara. Apa itu? Dhuha. Seakan Allah ngasih kode. Lama sekali saya nggak dhuha, sekalinya dhuha Allah kasih kejutan yang seperti ini. Alhamdulillah, selalu ada cara-cara unik-Nya ngasih rezeki pada hamba-Nya. Mengingatkan saya ke kejadian serupa yang pernah saya ceritakan. Tahun 2014, waktu gladi bersih PPSMB Palapa UGM. Naas kali itu, saya yang membawa sepeda baru dan terparkirkan di Gelanggang Mahasiswa, hilang. Kemudian saya putuskan untuk pulang, namun atas saran pembimbing pondok karena alasan jarak UGM – rumah yang kejauhan, pulangnya untuk pertama kali ke Pondok Smart Dompet Dhuafa (sebelum masuk Rumah Tahfidz). Allah perencana yang terbaik. Keesokan hari setelah kejadian itu tepatnya pukul 05:00 pagi di pondok, saya mendapat sms dari karyawan Humas UGM yang saya kenal. “Alhamdulillah, ada rezeki buat Andi. Selamat, dapat bantuan sepeda Polygon dari Profesor di FMIPA UGM. Dijaga ya sepeda besinya.”

Suasana mentoring saat di Pondok Smart Dompet Dhuafa Jogja (2014)
Jadi, sudah mengambil kesimpulannya? Ya, begitulah.. Allah mah, suka gitu. Surprizenya Allah itu sukses bikin saya terharu setelah saya mau belajar agama lebih intens, masuk pondok, ngaji. Beda sekali ketika saya di suatu kesempatan jarang ngaji, bahkan ketinggalan sholat wajib 5 waktu. Maka benar bahwa, pertolongan Allah adalah haknya orang-orang beriman.

Karena tidak ada kemudahan dari Allah kecuali didapatkan dengan ketaatan kepada Allah.” – Tengku Hannan Attaki

Andi Sujadmiko, ditulis sehari menjelang keberangkatan ke Kalimantan.

Comments

  1. Bagys Anndi, tulisannya renyah enak untuk dibaca, isinya juga okee. secara keseluruhan alur ceritanya nyambung,. cuma sedikit ada tulisan penggunaan titik, sama kata pingin,. biasanya kalau titik untuk keberlanjutan itu ada empat .... itu yang aku pelajari di bahasa indonesia waktu semester satu. baguss lanjutkan Andi~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih masukannya Mas Abil. Wah kudu belajar langsung ini biar paham teknik penulisan sesuai EYD hehe.

      Delete
  2. Wah kayaknya kita senasib bang, saya jug udah lama ga ngeblog 😂

    Niti jejak ya bang, kali aja mau mampir plus ninggalin komen sikik, hehe

    http://imoetmutia.blogspot.co.id/2017/02/ayah-segalanya-bagiku.html?m=1

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sesama blogger, nggak afdhol kalo nggak #blogwalking. Terima kasih sudah mampir ya..

      Delete

Post a Comment

Pembaca yang cerdas tentu berkomentar dengan baik dan sopan. Terimakasih sudah mampir! :)

Popular posts from this blog

Bicara Jodoh: Merayu Sang Pemilik Hati

Sebungkus Nasi Rames Yang Mengantarku ke UGM

Kuliah Umum WikiNusantara 2019 bersama Ivan Lanin