Rumah Kedua dan Semaian Mimpi 30 Juz

Apa yang kiranya aku sebut ‘Rumah Kedua’? Bagiku, yang hanya menumpang rumah orangtua sejatinya memang tidak punya rumah. Aku terlahir tanpa bekal, karena tugasku justru harus mengumpulkan bekal untuk kembali ke rumah asli manusia, yaitu surga. Tapi ayah dan bunda mengizinkanku untuk tinggal disini, setidaknya sampai dekade kedua. Karena selama atau setelah melalui masa berkepala dua, aku harus membangun rumahku sendiri. Tentunya, untuk membersamai istriku nanti. Lalu apa yang kumaksud ‘Rumah Kedua’ itu, rumah yang kubangun dengan pasangan hidupku? Tentu bukan. Ada satu rumah yang menjadi tempatku berproses sebelum menjemput impian dan bidadari keduaku. Rumah itu, sebuah rumah peradaban, rumah perubahan, yang menjadi muara dari cita-cita luhur seorang muslim menjadi hafidz. InsyaAllah.


Dan sesungguhnya, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk diingat..” – QS. Al-Qalam: 17

Di rumah kedua, dengan segenap mimpi yang ingin aku bangun disini. Mimpi yang mendekatkanku pada-Nya, untuk menjadi mahasiswa-mahasiswa penghafal Qur’an. Mimpi yang akan menyempurnakan separuh agama diantara kita. Karena inilah jalanku untuk memperjuangkan sebuah naungan denganmu dalam ikatan janji suci yang kita ikrarkan bersama, nanti. Maka biarkanlah aku menjauh, sementara terciptanya rindu yang terpaut pada-Nya kelak akan menyatukan kita lagi. Maka izinkan perasaan ini hanya tertuju pada-Nya, selagi kita tahu proses dan waktu akan memberi jawaban atas sebuah penantian.

Di rumah kedua, dari permintaan seseorang yang menitipkan bangunan diatas tanahnya menjadi tempat berjuang hafidz-hafidz muda. Demi seseorang ini, aku akan berikhtiar melaksanakan amanahnya. Menjadikan setiap sendi tubuh ini ikut melantunkan, serta merekam ayat-ayat cinta-Nya. Demi beberapa malaikat kiriman Tuhan berwujud manusia yang menolongku saat susah mendapatkan asrama kuliah, aku berusaha untuk jangan sampai mengecewakannya. Mereka semua adalah cahaya, bagian dari perjalanan hijrahku yang bisa menjadi cerita tauladan bagi anak cucuku kelak. Wujud dari ucapan terimakasihku adalah melihat seseorang itu tersenyum, karena pahalanya terus mengalir dari kebaikannya menyisihkan ruang dunia untuk kami, dan juga termasuk aku sendiri. Aku, dan segenap mahasiswa disini akan terus berusaha mengukir senyum itu, membuat aliran pahala untuk seseorang itu mengalir deras.

Ya Allah, kami tahu siapa diri kami sekarang.. yang sudah tidak seputih kertas, saat kami masih dalam rahim ibu. Izinkan kami untuk melihat kuasa-Mu yang sangat besar dan tersimpan rapi di mushaf Al-Qur’an. Izinkan kami untuk bersuci kembali, agar dapat membersamai keajaiban, kebenaran, dan keniscayaan dari setiap firman-Mu. Izinkan kami, merendahkan segenap hati ini, mengosongkan kalbu dari pikiran dunia, untuk menjemput hidayah-Mu. Izinkan kami, menjadi hafidz-Mu Ya Rabb. Aamiin..


Andi Sujadmiko, 14 Syawal 1436H dalam sebuah asrama tahfidz Smart Dompet Dhuafa Yogyakarta yang disebut ‘Rumah Kedua’ baginya.

Comments

Popular posts from this blog

Sebungkus Nasi Rames Yang Mengantarku ke UGM

Tangan Tuhan Dibalik Tulisan

Bicara Jodoh: Merayu Sang Pemilik Hati