Gowes Merdeka: Menjelajah Kebun Teh Nglinggo, Puncak Wedosari, dan Gunung Kukusan

Apa yang ada di benak pelajar Indonesia ketika mendengar tanggal 17 Agustus? Ada yang menjawab hari kemerdekaan NKRI, lomba pitulasan balap karung maupun panjat pinang, dan mayoritas pasti akan merespon dengan nada kurang semangat: upacara bendera! Bagaimana kurang greget, karena sedari pagi sampai menjelang siang mereka harus pasrah menahan terik matahari, demi menunggu detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Coba kalau adek-adek kita ini mau dan mampu memahami, betapa dulu semangat dan gregetnya para pahlawan kita memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Ya, andai mereka sebentar saja membayangkan ada di masa-masa itu. Maka dari itu, tak masalah jika harus melaksanakan amanat ibu guru untuk ikut upacara bendera dan berlatih menjadi manusia super sabar, karena harus tahan mengeluh dan bertetesan peluh.

Lalu, bagaimana dengan nasib kami-kami bergelar mahasiswa, pegawai kantoran, dan masyarakat selo yang hobby nenteng sepeda kemanapun berada? Jangan salah, kami juga melaksanakan amanat ibu guru semasa SMU: upacara bendera. Adalah seorang mahasiswa semester tiga UGM, Andi Sujadmiko; lelaki tangguh beranak satu, Om Triyono, dan pustakawan sekaligus traveller pesepeda, Mas Nasirullah Sitam. Beginilah cerita kami bertiga diantara sepeda.. dari pagi menjelang, sampai sesaat sebelum senja.

Awalnya saya tak yakin dengan sebuah perjalanan yang banyak goweser menyebutnya MBMA: My Bike My Adventure ini. Dan benar saja, setelah kabut sempat menyerang kawasan Godean Sleman, kemudian sayup-sayup saya teropong jalur sepeda yang ternyata, menanjak! Ibarat sebelum gowes update status Facebook pasang emoticon kucing ketawa karena saking senengnya, nah setelah hampir menuju perbukitan Samigaluh Kulonprogo, ingin saja segera ganti emoticon babi melengos. Haiyungalah, Pakdhe! Karena kaki saya spesialis mengayuh jalanan kota Jogja saja, dan belum sama sekali diajak nanjak. Sekalipun pernah nanjak di perbukitan Jolosutro menuju hutan pinus daerah Pandean, Piyungan, tapi ya dituntun sepedanya.. lha gimana lagi, disana sepi tak ada sumber semangat macam sapaan manis simpedes. Nah yang pernah jadi anak gaul tahun dua-ribuan pasti tahu apa itu simpedes.

Oke huss, terlalu ngalor-ngidul cerita saya. Kembali ke topik! Jadi, kami bertiga berangkat dari pertigaan jalan Gedongan-Tempel arah Jembatan Kreo pukul 07:00 WIB. Di depan warung mie ayam yang pedagangnya belum mau melayani pesanan ini, disana saya bertemu dengan duo tangguh: Om Triyono dan Mas Sitam. Mulailah petualangan disegerakan, karena berlama-lama di warung mie ayam akan berdampak bagi perut yang belum sarapan. Isuk-isuk ra oleh jajan

Di sepanjang jalan, kasihmu terkenang.” Karena duo tangguh ini asyik di depan, dan saya jadi nostalgia sendiri ketika mengayuh pedal di belakangnya. Tapi tak jadi masalah, pemandangan sepanjang jalan menuju Kebun Teh Nglinggo sungguh menawan. Sepadan dengan perjuangan! Lalu setelah hampir atau lebih –karena saya tak pakai timer – ya intinya kira-kira dua setengah jam sampailah pada Pasar Plono, Samigaluh, Kulonprogo. Dari sini, sudah ada penunjuk jalan ke arah Kebun Teh Nglinggo, tepatnya menuju utara. Saya melepas lelah sejenak, sambil menikmati gethuk jajanan Om Triyono yang dibeli di Pasar Minggir, Sleman.

Petualangan dimulai kembali. Hap hap! Lagi-lagi sebagai junior saya harus belajar dari pendahulu yang mahir memainkan Mountain Bike di medan tanjakan dengan baik dan benar. Rasanya, pepatah “Kalian akan mendapatkan dari apa yang sudah diusahakan.” itu juga pasti berlaku dimanapun, termasuk disini. Hore, akhirnya kita bertiga benar-benar sampai.. di pintu gerbang Kebun Teh Nglinggo. Setidaknya sebagai kabar gembira, kalau-kalau destinasinya sudah semakin mendekat, seiring sinyal kedatangan calon jodoh yang kian melekat.

"Selamat datang di Desa Wisata Nglinggo. Mau ke Grojogan atau Watu Amben juga monggo.."

Dan.. dengan nada semangat, sampailah kepada saat yang berbahagia di depan gerbang kemenangan Puncak Wedosari!

"Pintu masuk Puncak Wedosari, Tritis, Ngargosari, Samigaluh, Kulonprogo."

Demi momentum yang hanya datang sekali dalam setahun ini, atau bahkan beberapa tahun lagi bagi saya –karena tobat sepedaan nanjak kesini–, maka dari itu kita membawa serta sepeda Om Triyono menuju ke atas Puncak Wedosari.  Kenapa bukan sepeda Mas Sitam atau saya? Ya, karena sepeda Polygon Monarch kami berdua yang bermaterial hampir 87% ferro, 10% Al  –ala analisis mahasiswa metalurgi–, dan sisanya bahan sintetis karet atau semacamnya, tentu sangat bahaya jika diikutsertakan sebagai properti mendaki gunung Wedosari. Sementara Om Triyono menanggung beban frame Polygon Heist, biarlah saya hanya menenteng ban, nanti juga bisa nebeng jeprat-jepret dan ikut merasakan. Nah seperti di bawah ini upacara kemerdekaan, versi kami bertiga gan!

"Kepada sang Merah-Putih.. hormat, graakk!"
"Pria bertiga, sepeda, dan Merah-Putih."

Mau tahu serunya perjalanan ke destinasi selanjutnya? Simak saja lewat gambar-gambar di bawah ini. Karena kata orang fotografer, foto itu mampu menjelaskan lebih luas daripada tulisan. Alibi, sebenernya saya mulai pegel ngetik je. Nanti gantian anda-anda pembaca budiman yang cerita ke lainnya ya, tentang indahnya Kebun Teh Nglinggo dan Gunung Kukusan. Oiya, mungkin akan dijelaskan secara teknis dan mendetail oleh Mas Nasirullah Sitam di blognya. Saya hanya mampir nulis supaya banyak yang penasaran.

"Mau pilih mana? Puncak Gunung Jaran, Hutan Pinus, atau wahana parkir?"
"The 'Kukusan' Mount."

Oke, sampai disitu dulu kisah saya dan petualangan sepeda. Salam buat adek-adek pelajar di rumah. Tetap junjung tinggi semangat berupacara bendera ketika hari Senin dan terlebih hari kemerdekaan 17 Agustus, karena kami bertiga tak semudah kalian yang tinggal menunggu hari Senin setiap minggu untuk upacara. Saya, Om Triyono, dan Mas Nasirullah Sitam harus naik bukit dengan bersepeda, untuk kemudian bisa menancapkan semangat merah putih di salah satu puncak tertinggi tanah Yogyakarta. Merdeka!

"Andi Sujadmiko"

Salam sepeda, salam merdeka: Andi Sujadmiko
Kontributor photo: Mas Nasirullah Sitam, Om Triyono

Comments

  1. Rutenya lewat mana kalo mau kesitu? Parah banget ga jalannya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Samigaluh, mbak. Lebih mudahnya sampai dulu pintu gerbang Kebun Teh, nanti ambil arah ke Tritis.

      *Andi: Bagaimana kalau besok kita ke bukit lainnya yang lebih jauh. Pasti lebih menyenangkan :-D

      Delete
    2. Boleh mas, besok nunggu selonya kapan. Asal rame, tambah seru :-D

      Delete
  2. wah tempatnya bagus2 banget gan..itu di daerah mana yah kalo boleh tau?? rutenya mantep banget ini gan...boleh nih sekali2 aq coba..jadi pingin gowes kesana ih :( hikss... oya gan ane juga ada artikel nih anatomi tubuh saat bersepeda sapa tau bisa tambah wawasan agan nih^^

    ReplyDelete

Post a Comment

Pembaca yang cerdas tentu berkomentar dengan baik dan sopan. Terimakasih sudah mampir! :)

Popular posts from this blog

Sebungkus Nasi Rames Yang Mengantarku ke UGM

Tangan Tuhan Dibalik Tulisan

Bicara Jodoh: Merayu Sang Pemilik Hati