Refleksi 365 Hari: Tetaplah Bertahan, Menjadi Mahasiswa
Dua semester terlewati.
Setahun yang lalu, siapa yang membuat keputusan untuk berkuliah di kampus ini?
365 hari yang terlampaui, suara hati mana yang berseru untuk memilih jurusan
ini? Bukannya sudah tak ada lagi campur tangan -bahkan sekedar usulan-,
orangtua tak terlibat untuk urusan ini. Karena kebanyakan dari mereka belum
pernah sekalipun mengenyam pendidikan sarjana, mana berani mengusulkan
perguruan tinggi asal-asalan untuk anaknya. Mereka mempercayai pilihan buah
hatinya, lalu dibebaskannya untuk menentukan jalan masa depan yang akan dituju.
Kita yang memilih, kita juga yang harus bertanggungjawab. Demi pengorbanan
keringat ayah ibu untuk membuat anaknya kelak menjadi dokter, arsitek, engineer.. berjanjilah untuk membuat
senyum mereka tetap mengembang.
Mungkin ada sedikit dari
kita, para mahasiswa berumur setahun yang akhirnya menyadari bahwa selama ini
salah jalan. Sebenarnya kita hanya perlu menengok sejenak kebelakang. Untuk
sampai sejauh ini, sudah berpeluh-peluh keringat yang setia menetes menemani
perjuangan mendapat satu kursi disini. Ingat bagaimana dulu harus menahan kantuk
saat siang-siang les persiapan tes masuk perguruan tinggi? Masih lekatkah
memori kita saat bertanya dengan semangatnya kepada guru di kelas? Api yang
kita sulut waktu itu, sekarang baranya sudah tak semerah dulu.. panasnya tak
menghangatkan ruang di sekitarnya lagi. Mungkin karena apinya kita tempatkan di
luar, dengan terpaan angin yang luar biasa, bisa saja sewaktu-waktu mematikan
baranya. Kita hanya harus memindahkannya ke lingkungan yang lebih teduh dengan
adanya benteng untuk saling melindungi, agar nyala api itu tetap terjaga.
Seperti itulah semangat bercita-cita, semangat berkuliah, layaknya nyala api.
Sekarang tahu apa jalan keluarnya?
Izinkan disini saya sebagai penulis, ingin bercerita.
Inilah satu kampus yang saya tuju untuk pelabuhan mimpi selanjutnya. Siapa yang
memilih ke tempat ini, dengan jurusan ini, sudah tentu tak ada dorongan dari
orang tua. Bukan berarti mereka tak peduli, tapi itulah caranya menunjukkan
kasih sayang: memberikan kebebasan. Saya hanya ingat dulu, bagaimana saat jatuh
tak ada harapan, lalu kembali bangkit berjuang. Dari Institut Pertanian Bogor
mengikuti Beastudi Etos. Bagaimana dulu rela berhari-hari menginap di rumah
saudara di Darmaga, Bogor demi segala tahapan seleksinya: menunggu lolos
berkas, tes tertulis, wawancara, bahkan hampir home visit. Bagaimana dulu harus
bolak-balik diantara derasnya hujan untuk memastikan berkasnya sampai di asrama
Beastudi Etos Bogor, dalam keadaan tak basah. Lalu tak kalah dramatisnya,
ketika di Yogyakarta mengurus segala keperluan berkas seleksi PBUTM UGM, hanya sendiri.
Sampai pada akhirnya, keajaiban doa dari sebungkus nasi rames yang menyempurnakan
ikhtiar itu. (Baca:
Sebungkus Nasi Rames Yang Mengantarku ke UGM)
Mengenang perjalanan 365
hari yang lalu, manis rasanya. Terbayar sudah..
Lalu, diantara teman yang
ingin berpindah haluan saya masih setia untuk bertahan. Memang, dengan pertimbangan
satu hal ini: nilai akademik berbanding lurus dengan seberapa besar kita
menyukai jurusan yang dijalani. Lalu, apa satu hal itu yang membuat bertahan?
Bukan semata-mata karena sangat menyukai jurusan. Saya memang bukan orang yang
terlalu fanatik dengan jurusan tertentu. Saya hanya mengambil kesimpulan bahwa
selama ini ada yang memberi kesempatan berharga untuk berkuliah. Apalagi sudah gratis,
dapat uang saku bulanan, dan diminta tinggal di asrama. Itu saja. Sederhana,
tapi mengandung makna berupa implementasi nyata yang luar biasa.
Untuk mereka, malaikat
berwujud manusia yang menolong saya saat susah mendapat asrama kuliah. Disini
saya memandang dunia perkuliahan lebih dari satu sisi. Lewat pembinaan rutin
dari sisi agama, saya mempunyai kesempatan untuk menimba bekal akhirat lebih
dalam lagi. Menjadi mahasiswa dengan almamater ternama, harus siap dengan
persepsi besar dari orang banyak bahwa kita adalah calon pemimpin. Setidaknya,
pemimpin untuk keluarga nanti harus menjadi imam yang baik. Lalu, dikelilingi
lingkungan yang agamis membuat saya banyak bersyukur. Ada saja yang
memperhatikan keadaan ini: saling mengingatkan untuk tidak patah semangat,
saling membangun kekuatan untuk terus bertumbuh, dan terus semangat menjemput
segala impian di masa depan. Di asrama Smart Dompet Dhuafa Yogyakarta, saya
belajar menjadi muslim. Menghargai betapa berharganya waktu yang tidak bisa
diulang, dan mempercayai betapa sempurnanya keputusan Allah yang digariskan
untuk dijalani. Saya bisa merasakan. Itulah yang membuat saya bertahan, dan
terus berjuang menjadi mahasiswa.
Ada alasan lain yang
membuat saya tambah bersyukur. Menemukan dan menjalani passion adalah hal yang
menyenangkan. Menulis dan menginspirasi, menjadi sesuatu yang berharga bagi
saya saat menjadi mahasiswa. Yakinlah, ada alasan lain yang bisa kita temukan
kenapa Tuhan memberikan kesempatan sebagai mahasiswa. Entah mendalami
fotografi, belajar membangun bisnis, dan lain sebagainya. Bukankah tidak
mungkin, pekerjaan kita di masa depan awalnya dari hobby yang dikembangkan saat
masih berkuliah?
"Menjadi writer-trainer, buah dari perjalanan mencari passion" (Gathering I Tunas Indonesia Jepang, 18 Oktober 2014) |
Teman, setelah membaca
dari atas sampai kata ini, setidaknya kita telah mengerti. Selalu ada alasan
dibalik kesempatan berharga saat berkuliah. Lingkungan tentu sangat berpengaruh
besar untuk membuat kita teguh dalam bertahan, atas keputusan yang sudah
diambil. Semoga Allah senantiasa melindungi di sepanjang perjalanan kita, dan
dengan melihat kebawah, semoga membuat kita mengerti bahwa meskipun salah
jurusan atau tidak, kuliah adalah anugerah yang wajib disyukuri.
Andi Sujadmiko, Mahasiswa Teknik Pengelolaan dan Perawatan Alat Berat Universitas Gadjah Mada 2014
Bagus ndi. Sukses terus ya
ReplyDeleteAamiin, thanks van. Sukses juga buat kamu :)
DeleteKereen :)
ReplyDeleteHai dek Fauziyyah, thanks udah mampir :)
Delete