Cerita Hijrah: Ketika Diuji dengan Kepopuleran

Saya mahasiswa aktif semester 7 di Universitas Gadjah Mada, yang sebentar lagi akan mengambil KKN PPM (Kuliah Kerja Nyata – Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat). Saya masih ingat awal-awal ketika menjadi maba di Kampus Bulaksumur ini. Berawal dari tulisan yang ngehits pada jamannya, yaitu “Sebungkus Nasi Rames yang Mengantarku ke UGM” lalu beberapa orang terdekat meminta saya sharing pengalaman, motivasi, ke acara-acara yang notabene banyak pelajar SMA/SMK. Disaat yang sama, saya juga mulai mau belajar ngaji di pondok sampai Rumah Tahfidz.
Dan disaat itulah Allah kasih ujian..

Majalah Swara Cinta, Dompet Dhuafa
 
Ya. Saya masuk majalah. Nggak tanggung-tanggung, majalah nasional yang dikelola khusus oleh Dompet Dhuafa. Mulai deh setelah itu karena saking bangganya, lalu upload di semua social media dengan caption yang intinya, meninggikan diri sendiri. Kalau inget ini malu. Karena diluar sana sebenarnya masih banyak mahasiswa yang lebih layak diteladani ketimbang saya. Dan nggak cukup sampai disitu, majalah kampus yang notabene saya pernah aktif di kepengurusannya.. ikut mengorbitkan profil saya:
 
Bulaksumur Pos, SKM UGM Bulaksumur


Nggak sedikit pujian yang mampir ke saya. Udah deh, serasa terbang tinggi. Belum lagi situs online yang digandrungi anak muda macam hipwee.com atau isigood.com ikut nimbrung. Nih salah satu screenshootnya:
 
Hipwee
 
Gimana perasaan teman-teman kalau di posisi saya? Yang dulunya ketika SMK biasa-biasa saja, punya prestasi di sekolah juga nggak, jadi santri juga belum pernah, istilahnya culun gitu.. eh tiba-tiba drastis banget perubahannya. Ini salah saya juga, sih. Saya waktu itu belum ngerti bahwa ternyata ini ujian, dan belum bisa bijak menyikapinya. Dan ada kejadian yang kemudian saya ambil kesimpulan bahwa itu teguran Allah, cuma sayangnya saya nggak bisa cerita disini. Saya nggak lulus diuji. Saya harus di”her” gitu istilahnya.

Lalu apa pelajarannya dari semua ini? Agar kemudian ketika teman-teman di suatu hari punya case yang sama, bisa bijak menyikapinya. Nih..

Mengutip nasehat dari Ustadz Diki Prima yang sering ngisi di markasnya Pemuda Hijrah, Masjid Al Lathiif Bandung (saat ini saya sedang magang di Bandung) untuk menjadi pegangan kita semua. “Salah satu sarana untuk mendidik jiwa di kalangan terdahulu atau generasi tabi’in adalah mengikis sifat bangga diri. Dengan itulah mereka mampu melukiskan kepada kita puncak ketawadhuan. Diantara mereka ada yang menyangka bahwa dirinya adalah pusat pergerakan alam ini. Diantara mereka ada juga yang telah benar-benar ada di puncak ketinggian, namun diri mereka tidak pernah merasa tinggi, karena mereka benar-benar mempelajari adab. Itulah pendidikan yang dijalani para tabi’in. Barangsiapa yang tidak merasa ada kekurangan pada dirinya, maka justru dia penuh kekurangan.

Ada lagi nih..

Salah seorang ulama besar generasi tabiut tabi'in, Abdullah bin Al Mubarak juga mengatakan bahwa: "Tidak dikenal dan tidak disanjung adalah kehidupan. Menjadi biasa di mata manusia adalah harapan". Yang lebih membuat saya malu dan mengistighfari masa lalu saya adalah ketika membaca ini: "Tidak akan mendapatkan manisnya akhirat orang yang mendambakan jadi orang terkenal." (Bisyr bin Al Harits dalam Tahdzib Al Hiyah : 3/94).

Pada akhirnya.. saya menyadari bahwa posisi apapun yang kita duduki, kondisi apapun yang kita alami, jangan mudah bangga diri.. jangan sombong. Karena sombong itu hanya milik-Nya. Saya jadi ingat waktu masih magang di PT. Kaltim Prima Coal, manager Haul Truck - Mining Support Division waktu itu sering papasan sama saya ketika masuk musholla kantor. Gaji Rp 60.000.000/bulan yang didapat beliau, sholatnya aja selalu on time. Poin pertama: sholat on time, bro. Udah gitu ketika pamitan beliau dengan senyumnya yang khas, ngasih banyak wejangan yang insyaAllah bermanfaat untuk pegangan saya kedepan. Poin kedua, tawadhu. Jadi, punya alasan apa kita berbangga diri?

***
"Teruslah menebar manfaat, namun jangan diniatkan agar menjadi terkenal. Mengejar kepopuleran itu menyakitkan, karena bisa jadi amal kita sudah hangus tersebab nafsu dunia ingin diakui, atau bahkan oleh sikap riya."
(Andi Sujadmiko, 2017)

Comments

Popular posts from this blog

Bicara Jodoh: Merayu Sang Pemilik Hati

Sebungkus Nasi Rames Yang Mengantarku ke UGM

Kuliah Umum WikiNusantara 2019 bersama Ivan Lanin