Pulang

Sejak Februari tahun 2017 ini, pulang adalah hal yang berharga bagi saya. Beban SKS yang mengharuskan saya magang di dua perusahaan diantara dua pulau berbeda dalam 6 bulan, kemudian akan disambung lagi KKN PPM UGM yang entah dapat plotingan di daerah mana, menjadikan rindu orang-orang rumah semakin membuncah. Sebenarnya sebelum ini pun, saya pernah hidup satu tahun di luar kota, jauh dari keluarga meski dengan sebab yang sama. Di Bogor kala itu, empat tahun lalu. Setidaknya, untuk kedua kali.. rindu itu telah terlatih dengan jarak.

Maka kepulangan adalah satu hal yang ditunggu-tunggu. Jarang bertemu, namun sering telpon, dan dekat di doa. Saya nggak akan lagi mengatakan dekat di hati, apalagi menyimpannya di kalbu. Karena sifat hati itu bolak-balik. Semudah Dia membalikkan perasaanku padamu waktu itu, empat tahun lalu sebelum berganti nominal tahun masehi. Saya belajar tegar, karena itulah balasan setimpal jika menggantungkan harapan selain-Nya.

Galau Rindu Rumah @Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur

Apa yang saya rindukan dari kepulangan ke rumah? Jelas.. setiap hari saya ketemu Ibu. Perantara ridho Allah yang diturunkan untuk anaknya ini. Alhamdulillah di usia duapuluhan tahun ini, keluarga saya masih lengkap. Kehadiran si kecil, adik kedua yang berjarak 18 tahun dengan kakaknya ini membuat saya lebih bersyukur.. saya bisa melatih ilmu parenting sedari dini hehe. Dia layaknya Andi kecil, karena dari kebiasaannya mirip banget dengan saya. Umur tiga tahun udah minta didaftarkan ngaji Iqro, berangkat PAUD sendiri. Sebentar lagi ketika TK pun saya punya insting dia nggak akan betah bermain dengan teman sebayanya, dan buru-buru didaftarkan ke SD seperti kakaknya dulu.

Ya begitulah sepenggal kehidupan di rumah pertama. Belum lagi jika harus kembali ke rumah kedua. Dimana itu? Rumah Tahfidz, tempat saya ngaji, rumah terdekat dari kampus, rumah yang menumbuhkan cinta untuk bisa menjadi bagian dari keluarga Allah: para penghafal Al Qur’an. Keluarga Allah itu ada dua: Hafidz-Hafidzah Qur’an, dan pemakmur masjid. Begitu yang saya dengar dari tausiyah Ustadz Evie Effendie di Masjid Trans Studio Bandung.

Segalanya menjadi indah ketika bisa pulang. Maka bersyukurlah ketika punya tujuan untuk pulang. Seperti manusia, penduduk asli dari surga. Tujuan kita.. kembali ke surga. Tentu atas izin rahmat-Nya. Karena sejatinya kita tak akan pernah bisa hanya mengandalkan amal sholeh ketika di dunia untuk bisa meraih surga-Nya. Kata Gurunda Hanan Attaki dalam kajian Pemuda Hijrah bahwa setiap langkah kita ke majelis ta’lim.. Allah dekatkan jarak kita ke surga dalam sekian puluh, ratusan, bahkan ribuan kilometer jaraknya. Semakin sering kita dimudahkan oleh Allah datang ke ta’lim, semakin kita didekatkan jaraknya ke surga. Karena ta’lim itu taman-taman surga yang ada di dunia. Begitu juga dalam beramal sholih. Allah melipatgandakan pahala ratusan, ribuan, bahkan jutaan kali lipat, jarang banget yang hanya sampai sepuluh kali lipat. Itulah letak rahmat Allah dibalik amal. Maka jika ada orang skeptis bilang, mending ngejar rahmat Allah daripada beramal.. maka sesungguhnya mereka berada dalam logika yang berbahaya. Karena sesungguhnya, rahmat Allah itu diberikan ketika kita mengerjakan amalan sholeh.

Siap untuk pulang? Maka sedari sekarang siap-siap.. jangan hanya berbekal seadanya. Hidup cuma sekali, jangan sampai kita menyesal di akhir nanti.

Lekas pulanglah dari tanah rantau. Jika sebenarnya yang kita perjuangkan adalah untuk keluarga di rumah, maka akan selalu ada waktu diantara kesibukan untuk yang tercinta. Yuk, pulang kampung!

Ditulis menjelang kepulangannya ke Jogja dari Kota Kembang. Bandung, 23 Agustus 2017.

Comments

  1. merantau untuk keluarga, begitu juga pulanglah untuk keluarga

    ReplyDelete

Post a Comment

Pembaca yang cerdas tentu berkomentar dengan baik dan sopan. Terimakasih sudah mampir! :)

Popular posts from this blog

Sebungkus Nasi Rames Yang Mengantarku ke UGM

Tangan Tuhan Dibalik Tulisan

Bicara Jodoh: Merayu Sang Pemilik Hati